SEJARAH INDONESIA-PERJUANGAN MENGHADAPI ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA-PERTEMUAN KE 6
C. DARI KONFLIK MENUJU KE KONSESUS PEMBELAJARAN
1. KESADARAN TERHADAP PENTINGNYA INTEGRASI BANGSA
Pentingnya kesadaran terhadap integrasi bangsa dapat dihubungkan dengan masih terdapatnya potensi konflik di beberapa wilayah Indonesia pada masa kini.
Kementerian Sosial saja memetakan bahwa pada tahun 2014 Indonesia masih memiliki 184 daerah dengan potensi rawan konflik sosial.
Enam di antaranya diprediksi memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, yaitu Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah (cermati wacana di bawah).
Maka, ada baiknya bila kita coba kembali merenungkan apa yang pernah ditulis oleh Mohammad Hatta pada tahun 1932 tentang persatuan bangsa. Menurutnya:
“Dengan persatuan bangsa, satu bangsa tidak akan dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat berbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya… di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ‘persatuan’ dan menolak ‘persatean’” (Meutia Hatta, mengutip Daulat Rakyat, 1931)
Konflik bahkan bukan saja dapat mengancam persatuan bangsa. Kita juga harusmenyadari betapa konflik yang terjadi dapatmenimbulkan banyak korban dan kerugian.
Sejarah telah memberitahu kita bagaimana pemberontakanpemberontakan yang pernah terjadi selama masa tahun 1948 hingga 1965 telah menewaskan banyak sekali korban manusia.
Ribuan rakyat mengungsi dan berbagai tempat pemukiman mengalami kerusakan berat. Belum lagi kerugian yang bersifat materi dan psikis masyarakat.
Semua itu hanyalah akan melahirkan penderitaan bagi masyarakat kita sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, cobalah kalian baca wacana berikut ini dan ikutilah instruksi yang diberikan.
2. Teladan Para Tokoh Persatuan
Tahukah kalian bahwa jumlah tokoh yang telah diangkat oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional hingga tahun 2017 ini adalah 173 orang?
Tidak sembarangan orang memang dapat menyandang secara resmi gelar pahlawan nasional. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi.
Salah satu di antaranya adalah tokoh tersebut telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lainnya untuk mencapai/ merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Beberapa tokoh di bawah ini merupakan para pahlawan nasional yang memiliki jasa dalam mewujudkan integrasi bangsa Indonesia.
Tidak semua tokoh pahlawan dapat dibahas di sini. Selain jumlahnya yang banyak, mereka juga berasal dari berbagai bidang atau daerah yang berbeda. Untuk pahlawan dari daerah, kita akan mengambil hikmah para pejuang yang berasal dari wilayah paling timur Indonesia, yaitu Papua.
Di antara mereka mungkin kalian ada yang belum mengenalnya, padahal sesungguhnya mereka mempunyai jasa yang sama dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tiga tokoh akan kita bahas di sini, yaitu Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marthen Indey. Keteladanan para tokoh pahlawan nasional Indonesia juga dapat kita lihat dalam bentuk pengorbanan jabatan dan materi dari mereka yang berstatus raja.
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sultan Syarif Kasim II adalah dua tokoh nasional yang akan dibahas dalam bab ini.
Kita akan melihat bagaimana tokoh-tokoh ini lebih mengedepankan keindonesiaan mereka terlebih dahulu daripada kekuasaan atas kerajaan sah yang mereka pimpin, tanpa menghitung untung rugi.
Selain tokoh-tokoh yang berkiprah dalam bidang politik dan perjuangan bersenjata, kita juga akan mengambil hikmah keteladanan dari tokoh yang berjuang di bidang seni. Nama Ismail Marzuki mungkin telah kalian kenal sebagai pencipta lagu-lagu nasional.
Namun mungkin juga masih ada di antara kalian yang belum mengenal siapa sebenarnya Ismail Marzuki dan kiprah apa yang ia berikan bagi integrasi Indonesia.
Maka tokoh Ismail Marzuki ini akan juga kita bahas dalam bab mengenai keteladanan para tokoh nasional ini.
1) Pahlawan Nasional dari Papua:
Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marthen Indey
Posisi Papua dalam sejarah Indonesia setelah kemerdekaan sebenarnya unik. Papua adalah wilayah di Indonesia yang bahkan setelah RI kembali menjadi negara kesatuan pada tahun 1950 pun, tetap berada dalam kendali Belanda.
Khusus persoalan Papua, berdasarkan hasil KMB tahun 1949, sesungguhnya akan dibicarakan kembali oleh pemerintah RI dan Belanda “satu tahun kemudian”. Nyatanya hingga tahun 1962, ketika Indonesia akhirnya memilih jalan perjuangan militer dalam merebut wilayah ini, Belanda tetap berupaya mempertahankan Papua.
Meski demikian, dalam kurun waktu selama itu, bukan berarti rakyat Papua berdiam diri untuk tidak menunjukkan nasionalisme keindonesiaan mereka.
Berbagai upaya juga mereka lakukan agar bisa menjadikan Papua sebagai bagian dari negara Republik Indonesia. Muncullah tokoh-tokoh yang memiliki peran besar dalam upaya integrasi tersebut, seperti Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey
Frans Kaisiepo (1921-1979) adalah salah seorang tokoh yang mempopulerkan lagu Indonesia Raya di Papua saat menjelang Indonesia merdeka.
Ia juga turut berperan dalam pendirian Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada tanggal 10 Mei 1946. Pada tahun yang sama, Kaisiepo menjadi anggota delegasi Papua dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan, dimana ia sempat menyebut Papua (Nederlands Nieuw Guinea) dengan nama Irian yang konon diambil dari bahasa Biak dan berarti daerah panas. Namun kata Irian tersebut malah diberinya pengertian lain : “Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands (Kemensos, 2013). Dalam konferensi ini, Frans Kaisiepo juga menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) karena NIT tidak memasukkan Papua ke dalamnya. Ia lalu mengusulkan agar Papua dimasukkan ke dalam Keresidenan Sulawesi Utara.
Tahun 1948 Kaisiepo ikut berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak melawan pemerintah kolonial Belanda. Setahun setelahnya, ia menolak menjadi ketua delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Konsekuensi atas penolakannya adalah selama beberapa tahun setelah itu ia dipekerjakan oleh pemerintah kolonial di distrik-distrik terpencil Papua.
Tahun 1961 ia mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang menuntut penyatuan Nederlans Nieuw Guinea ke negara Republik Indonesia. Wajar bila ia kemudian banyak membantu para tentara pejuang Trikora saat menyerbu Papua.
Paruh tahun terakhir tahun 1960-an, Kaisiepo berupaya agar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) bisa dimenangkan oleh masyarakat yang ingin Papua bergabung ke Indonesia.
Proses tersebut akhirnya menetapkan Papua menjadi bagian dari negara Republik Indonesia. Silas Papare (1918-1978) membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) hanya sekitar sebulan setelah Indonesia merdeka.
Tujuan KIM yang dibentuk pada bulan September 1945 ini adalah untuk menghimpun kekuatan dan mengatur gerak langkah perjuangan dalam membela dan mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Bulan Desember tahun yang sama, Silas Papare bersama Marthen Indey dianggap mempengaruhi Batalyon Papua bentukan Sekutu untuk memberontak terhadap Belanda. Akibatnya mereka berdua ditangkap Belanda dan dipenjara di Holandia (Jayapura).
Setelah keluar dari penjara, Silas Papare mendirikan Partai Kemerdekaaan Irian. Karena Belanda tidak senang, ia kemudian ditangkap dan kembali dipenjara, kali ini di Biak. Partai ini kemudian diundang pemerintah RI ke Yogyakarta.
Silas Papare yang sudah bebas pergi ke sana dan bersama dengan teman-temannya membentuk Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta.
Sepanjang tahun 1950-an ia berusaha keras agar Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia. Tahun 1962 ia mewakili Irian Barat duduk sebagai anggota delegasi RI dalam Perundingan New York antara Indonesia-Belanda dalam upaya penyelesaian masalah Papua.
Berdasarkan “New York Agreement” ini, Belanda akhirnya setuju untuk mengembalikan Papua ke Indonesia. Marthen Indey (1912–1986) sebelum Jepang masuk ke Indonesia adalah seorang anggota polisi Hindia Belanda.
Namun jabatan ini bukan berarti melunturkan sikap nasionalismenya. Keindonesiaan yang ia miliki justru semakin tumbuh tatkala ia kerap berinteraksi dengan tahanan politik Indonesia yang dibuang Belanda ke Papua.
Ia bahkan pernah berencana bersama anak buahnya untuk berontak terhadap Belanda di Papua, namun gagal. Antara tahun 1945-1947, Indey masih menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan jabatan sebagai Kepala Distrik.
Meski demikian, bersama-sama kaum nasionalis di Papua, secara sembunyi-sembunyi ia malah menyiapkan pemberontakan.
Tetapi sekali lagi, pemberontakan ini gagal dilaksanakan. Sejak tahun 1946 Marthen Indey menjadi Ketua Partai Indonesia Merdeka (PIM). Ia lalu memimpin sebuah aksi protes yang didukung delegasi 12 Kepala Suku terhadap keinginan Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.
Indey juga mulai terang-terangan menghimbau anggota militer yang bukan orang Belanda agar melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Akibat aktivitas politiknya yang kian berani ini, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan Indey.
Tahun 1962, saat Marthen Indey tak lagi dipenjara, ia menyusun kekuatan gerilya sambil menunggu kedatangan tentara Indonesia yang akan diterjunkan ke Papua dalam rangka operasi Trikora.
Saat perang usai, ia berangkat ke New York untuk memperjuangkan masuknya Papua ke wilayah Indonesia, di PBB hingga akhirnya Papua (Irian) benar-benar menjadi bagian Republik Indonesia.
2) Para Raja yang Berkorban Untuk Bangsa:
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sultan Syarif Kasim II
Saat Indonesia merdeka, di Indonesia, masih ada kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Hebatnya, para penguasa kerajaan-kerajaan tersebut lebih memilih untuk meleburkan kerajaan mereka ke dalam negara Republik Indonesia.
Hal ini bisa terjadi tak lain karena dalam diri para raja dan rakyat di daerah mereka telah tertanam dengan begitu kuat rasa kebangsaan Indonesia. Meski demikian tak semua raja mau bergabung dengan negara kesatuan RI.
Sultan Hamid II dari Pontianak misalnya, bahkan pada tahun 1950-an lebih memilih berontak hingga turut serta dalam rencana pembunuhan terhadap beberapa tokoh dan pejabat di Jakarta, meski akhirnya mengalami kegagalan.
Dalam bagian ini, kita akan mengambil contoh dua orang raja yang memilih untuk melawan Belanda dan bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta dan Sultan Syarif Kasim II dari kerajaan Siak
Sultan Hamengku Buwono IX (1912-1988).
Pada tahun 1940, ketika Sultan Hamengku Buwono IX dinobatkan menjadi raja Yogyakarta, ia dengan tegas menunjukkan sikap nasionalismenya.
Dalam pidatonya saat itu, ia mengatakan: “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa.”(Kemensos, 2012) Sikapnya ini kemudian diperkuat manakala tidak sampai 3 minggu setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan Kerajaan Yogjakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia.
Dimulai pada tanggal 19 Agustus, Sultan mengirim telegram ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas terbentuknya Republik Indonesia dan terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Tanggal 20 Agustus besoknya, melalui telegram kembali, Sultan dengan tegas menyatakan berdiri di belakang Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Dan akhirnya pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengku Buwono IX memberikan amanat bahwa:
1) Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Republik Indonesia.
2) Segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.
3) Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah RI bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung jawab kepada Presiden RI.
Melalui telegram dan amanat ini, sangat terlihat sikap nasionalisme Sultan Hamengku Buwono IX. Bahkan melalui perbuatannya.
Sejak awal kemerdekaan, Sultan memberikan banyak fasilitas bagi pemerintah RI yang baru terbentuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Markas TKR dan ibukota RI misalnya, pernah berada di Yogjakarta atas saran Sultan.
Bantuan logistik dan perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI tatkala perang kemerdekaan berlangsung, juga ia berikan. Sultan Hamengku Buwono IX juga pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja seluruh Jawa setelah agresi militer Belanda II berlangsung.
Belanda rupanya ingin memisahkan Sultan yang memiliki pengaruh besar itu dengan Republik. Bukan saja bujukan, Belanda bahkan juga sampai mengancam Sultan. Namun Sultan Hamengku Buwono IX malah menghadapi ancaman tersebut dengan berani.
Meskipun berstatus Sultan, Hamengku Buwono IX dikenal pula sebagai pribadi yang demokratis dan merakyat.
Banyak kisah menarik yang terjadi dalam interaksi antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Cerita yang dikisahkan oleh SK Trimurti dan diolah dari buku “Takhta Untuk Rakyat” berikut ini, menggambarkan hal tersebut. Trimurti adalah istri Sayuti Melik, pengetik naskah teks proklamasi:
Pingsan Gara-Gara Sultan
Kejadiannya berlangsung pada tahun 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Saat itu, SK Trimurti hendak pulang menuju ke rumahnya. Penasaran dengan kerumunan orang di jalan, iapun singgah.
Ternyata ada perempuan pedagang yang jatuh pingsan di depan pasar. Uniknya, yang membuat warga berkerumun bukanlah karena perempuan yang jatuh pingsan tadi, melainkan penyebab mengapa perempuan tersebut jatuh pingsan.
Cerita berawal ketika perempuan pedagang beras ini memberhentikan sebuah jip untuk ikut menumpang ke pasar Kranggan. Sesampainya di Pasar Kranggan, ia lalu meminta sopir jip untuk menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai dan bersiap untuk membayar jasa, sang sopir dengan halus menolak pemberian itu.
Dengan nada emosi, perempuan pedagang ini mengatakan kepada sopir jip, apakah uang yang diberikannya kurang. Tetapi tanpa berkata apapun sopir tersebut malah segera berlalu. Seusai kejadian, seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada si perempuan pedagang : "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?" “Sopir ya sopir. Aku ndak perlu tahu namanya. Dasar sopir aneh," jawab perempuan pedagang beras dengan nada emosi.
"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." jawab polisi. Seketika, perempuan pedagang beras tersebut jatuh pingsan setelah mengetahui kalau sopir yang dimarahinya karena menolak menerima uang imbalan dan membantunya menaikkan dan menurunkan beras dagangan, adalah rajanya sendiri! (Tahta Untuk Rakyat, Atmakusumah (ed), 1982).
Kisah tersebut menggambarkan betapa Sultan Hamengku Buwono IX bukan saja berpikir dan bertindak bagi utuhnya kesatuan bangsa.
Dalam hal kecil, ia bahkan melakukan perbuatan teladan berupa keharusan menyatunya seorang pemimpin dengan rakyatnya.
Sultan Syarif Kasim II (1893-1968). Sultan Syarif Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada tahun 1915 ketika berusia 21 tahun. Ia memiliki sikap bahwa kerajaan Siak berkedudukan sejajar dengan Belanda.
Berbagai kebijakan yang ia lakukan pun kerap bertentangan dengan keinginan Belanda. Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai ke Siak, Sultan Syarif Kasim II segera mengirim surat kepada Soekarno-Hatta, menyatakan kesetiaan dan dukungan terhadap pemerintah RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden untuk membantu perjuangan RI. Ini adalah nilai uang yang sangat besar.
Tahun 2014 kini saja angka tersebut setara dengan Rp. 1,47 trilyun. Kesultanan Siak pada masa itu memang dikenal sebagai kesultanan yang kaya.
Tindak lanjut berikutnya, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.
Ia juga segera mengadakan rapat umum di istana serta mengibarkan bendera Merah-Putih, dan mengajak raja-raja di Sumatera Timur lainnya agar turut memihak republik. Saat revolusi kemerdekaan pecah, Sultan aktif mensuplai bahan makanan untuk para laskar.
Ia juga kembali menyerahkan kembali 30% harta kekayaannya berupa emas kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta bagi kepentingan perjuangan. Ketika van Mook, Gubernur Jenderal de facto
Hindia Belanda, mengangkatnya sebagai “Sultan Boneka” Belanda, Sultan Syarif Kasim II tentu saja menolak. Ia tetap memilih bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Atas jasanya tersebut, Sultan Syarif Kasim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.
3) Mewujudkan Integrasi Melalui Seni dan Sastra: Ismail Marzuki
Ismail Marzuki (1914–1958). Dilahirkan di Jakarta, Ismail Marzuki memang berasal dari keluarga seniman. Di usia 17 tahun ia berhasil mengarang lagu pertamanya, berjudul “O Sarinah”. Tahun 1936, Ismail Marzuki masuk perkumpulan musik Lief Java dan berkesempatan mengisi siaran musik di radio.
Pada saat inilah ia mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu barat untuk kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri. Lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki itu sangat diwarnai oleh semangat kecintaannya terhadap tanah air.
Latar belakang keluarga, pendidikan dan pergaulannyalah yang menanamkan perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap penderitaan bangsanya.
Ketika RRI dikuasai Belanda pada tahun 1947 misalnya, Ismail Marzuki yang sebelumnya aktif dalam orkes radio memutuskan keluar karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda.
Ketika RRI kembali diambil alih republik, ia baru mau kembali bekerja di sana.
Lagu-lagu Ismail Marzuki yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan yang menggugah rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa, antara lain “Rayuan Pulau Kelapa” (1944), “Halo-Halo Bandung” (1946) yang diciptakan ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, “Selendang Sutera” (1946) yang diciptakan pada saat revolusi kemerdekaan untuk membangkitkan semangat juang pada waktu itu dan “Sepasang Mata Bola” (1946) yang menggambarkan harapan rakyat untuk merdeka.
Meskipun memiliki fisik yang tidak terlalu sehat karena memiliki penyakit TBC, Ismail Marzuki tetap bersemangat untuk terus berjuang melalui seni. Hal ini menunjukkan betapa rasa cinta pada tanah air begitu tertanam kuat dalam dirinya.
Saya sudah selesai membaca
BalasHapusBismillah
BalasHapusElvi salmida sudah siap membaca semua materinya pak
Reda rahmasari sudah
BalasHapusNama:safriyana
BalasHapusSaya sudah selesai membaca semua materi nya pak
Muladi awal
BalasHapusSaya sudah siap